Pages

Tuesday, October 28, 2014

Kalimat Dasar

Pengertian Kalimat
Kalimat adalah satuan bahasa berupa kata atau rangkaian kata yang dapat berdiri sendiri dan menyatakan makna yang lengkap. Kalimat adalah satuan bahasa terkecil yang mengungkapkan pikiiran yang utuh, baik dngan cara lisan maupun tulisan. Dalam wujud lisan, kalimat diucapkan dengan suara naik turun, dan keras lembut, disela jeda, diakhiri dengan intonasi akhir. Sedangkan dalam wujud tulisan berhuruf latin, kalimat dimulai dengan huruf kapital dan diakhiri dengan tanda titik (.) untuk menyatakan kalimat berita atau yang bersifat informatif, tanda tanya (?) untuk menyatakan pertanyaan dan tanda seru (!) untuk menyatakan kalimat perintah. Sekurang-kurangnya kalimat dalam ragam resmi, baik lisan maupun tertulis, harus memiliki sebuah subjek (S) dan sebuah predikat (P). Kalau tidak memiliki kedua unsur tersebut, pernyataan itu bukanlah kalimat melainkan hanya sebuah frasa. Itulah yang membedakan frasa dengan kalimat

Kalimat dibedakan menjadi dua kalimat, yaitu kalimat tunggal dan kalimat majemuk

Kalimat Tunggal
Kalimat tungal adalah kalimat yang hanya mempunyai satu pola kalimat, yaitu memiliki satu subjek dan satu predikat, serta keterangan (jika perlu).

Kalimat Majemuk
kalimat majemuk adalah kalimat yang mempunyai dua pola kalimat atau lebih. Kalimat majemuk ini terdiri dari induk kalimat dan anak kalimat. Cara membedakan anak kalimat dan induk kalimat yaitu dengan melihat letak konjungsi. Induk kalimat tidak memuat konjungsi di dalamnya, konjungsi hanya terdapat pada anak kalimat.

Setiap kalimat majemuk mempunyai kata penghubung yang berbeda, sehingga jenis kalimat tersebut dapat diketahui dengan cara melihat kata penghubung yang digunakannya.

Jenis-jenis kalimat majemuk :

  • Kalimat Majemuk Setara
  • Kalimat Majemuk Rapatan
  • Kalimat Majemuk Bertingkat
  • Kalimat Majemuk Campuran

Kalimat Majemuk Setara
Kalimat majemuk setara yaitu penggabungan dua kalimat atau lebih kalimat tunggal yang kedudukannya sejajar atau sederajat.
Berdasarkan kata penghubungnya (konjungsi), kalimat majemuk setara terdiri dari lima macam, yaitu :

Jenis
Konjungsi
penggabungan
dan
penguatan/Penegasan
bahkan
pemilihan
atau
berlawanan
sedangkan
urutan waktu
kemudian, lalu, lantas

Contoh :
  • Lisa pergi ke pasar (kalimat tunggal 1)
  • Budi berangkat ke bengkel. (kalimat tunggal 2)
  • Lisa pergi kepasar sedangkan Budi berangkat ke bengkel. (kalimat majemuk)
  • Budi berangkat ke bengkel sedangkan Lisa pergi ke pasar. (kalimat majemuk)
Kalimat Majemuk Rapatan
Kalimat majemuk rapatan yaitu gabungan dari beberapa kalimat tunggal yang karena subjek, predikat atau objeknya sama, maka bagian yang sama hanya disebutkan sekali.

Contoh:
  • Pekerjaannya hanya makan (kalimat tunggal 1)
  • Pekerjaannya hanya tidur (kalimat tunggal 2)
  • Pekerjaannya hanya nonton (kalimat tunggal 3)
  • Pekerjaannya hanya makan, tidur, dan nonton. (kalimat majemuk rapatan)

Kalimat Majemuk Bertingkat
Kalimat majemuk bertingkat yaitu penggabungan dua kalimat atau lebih kalimat tunggal yang kedudukannya berbeda. Di dalam kalimat majemuk bertingkat terdapat unsur induk kalimat dan anak kalimat. Anak kalimat timbul akibat perluasan pola yang terdapat pada induk kalimat.
Berdasarkan kata penghubungnya (konjungsi), kalimat majemuk bertingkat terdiri dari :

Jenis
Konjungsi
syarat
jika, kalau, manakala, andaikata, asal(kan)
tujuan
agar, supaya, biar
perlawanan (konsesif)
walaupun, kendati(pun), biarpun
penyebaban
sebab, karena, oleh karena
pengakibatan
maka, sehingga
cara
dengan, tanpa
alat
dengan, tanpa
perbandingan
seperti, bagaikan, alih-alih
penjelasan
bahwa
kenyataan
padahal

Contoh :
  • Kemarin kakak mencuci motor. (induk kalimat)
  • Ketika matahari berada di ufuk timur. (anak kalimat sebagai pengganti keterangan waktu)
  • Ketika matahari berada di ufuk timur, kakak mencuci motor. (kalimat majemuk bertingkat cara 1)
  • Kakak mencuci motor ketika mataharai berada di ufuk timur. (kalimat majemuk bertingkat cara 2)

Kalimat Majemuk Campuran
Kalimat majemuk campuran yaitu gabungan antara kalimat majemuk setara dan kalimat majemuk bertingkat. Sekurang-kurangnya terdiri dari tiga kalimat.

Contoh :
  • Erlin bermain dengan Eka. (kalimat tunggal 1)
  • Arlinda membaca buku di kamar kemarin. (kalimat tunggal 2, induk kalimat)
  • Ketika aku datang ke rumahnya. (anak kalimat sebagai pengganti keterangan waktu)
  • Erlin bermain dengan Eka, dan Arlinda membaca buku di kamar, ketika aku datang ke rumahnya. (kalimat majemuk campuran)

Pola Kalimat
Pola kalimat yang kita gunakan sesungguhnya dapat dikembalikan ke dalam sejumlah kalimat dasar yang sangat terbatas. Dengan perkataan lain, semua kalimat yang kita gunakan berasal dari beberapa pola kalimat dasar saja. Seusai dengan kebutuhan kita masing-masing, kalimat dasar tersebut kita kembangkan, yang pengembangannya itu tentu saja harus didasarkan pada kaidah yang berlaku.

Berdasarkan keterangan sebelumnya, dapat ditarik kesimpulan bahwa kalimat dasar ialah kalimat yang berisi informasi pokok dalam struktur inti, belum mengalami perubahan. Perubahan itu dapat berupa penambahan unsur seperti penambahan keterangan kalimat ataupun keterangan subjek, predikat, objek, ataupun pelengkap. Kalimat dasar dapat dibedakan ke dalam delapan tipe.

Sumber

Tuesday, October 21, 2014

Ejaan Yang Disempurnakan (EYD)

Pengertian
Ejaan adalah seperangkat aturan atau kaidah perlambangan bunyi bahasa pemisah, penggabungan dan penulisannya dalam suatu bahasa. Batasan tersebut menunjukkan pengertian kata ejaan berbeda dengan kata mengeja. Mengeja adalah kegiatan melafalkan huruf suku kata atau kata. Sedangkan ejaan adalah suatu sistem aturan yang jauh lebih luas dari sekedar masalah pelafalan.

Ejaan terbagi tiga:
  • Van Ophuijsen (nama seorang guru besar Belanda yang juga pemerhati bahsa) yang dilakukan pada tahun 1901 oleh pemerintahan Belanda yang berkuasa di Indonesia pada masa itu. Ejaan Ophuijsen dipakai selama 46 tahun lebih lama dari Ejaan Republik dan baru diganti setelah dua tahun merdeka.
  • Ejaan Republik atau Ejaan Soewandi (menten PP dan KR Republik Indonesia pada saat ejaan diresmikan pada tahun 1947).
  • Ejaan Yang Disempurnakan (EYD). EYD mulai berlaku pada tanggal 16 Agustus 1972.
Ejaan Yang Disempurnakan (EYD) adalah ejaan bahasa Indonesia yang berlaku sejak tahun 1972. Ejaan ini menggantikan ejaan sebelumnya, Ejaan Republik atau Ejaan Soewandi.

Sejarah
Sebelum EYD, Lembaga Bahasa dan Kesusastraan, (sekarang Pusat Bahasa), pada tahun 1967 mengeluarkan Ejaan Baru (Ejaan LBK). Ejaan Baru pada dasarnya merupakan lanjutan dari usaha yang telah dirintis oleh panitia Ejaan Malindo. Para pelaksananya pun di samping terdiri dari panitia Ejaan LBK, juga dari panitia ejaan dari Malaysia. Panitia itu berhasil merumuskan suatu konsep ejaan yang kemudian diberi nama Ejaan Baru. Panitia itu bekerja atas dasar surat keputusan menteri pendidikan dan kebudayaan no.062/67, tanggal 19 September 1967.

Pada 23 Mei 1972, sebuah pernyataan bersama ditandatangani oleh Menteri Pelajaran Malaysia Tun Hussein Onn dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia, Mashuri. Pernyataan bersama tersebut mengandung persetujuan untuk melaksanakan asas yang telah disepakati oleh apra ahli dari kedua negara tentang Ejaan Baru dan Ejaan Yang Disempurnakan. Pada tanggal 16 Agustus 1972, berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 57 Tahun 1972, berlakulah sistem ejaan Latin bagi bahasa Melayu ("Rumi" dalam istilah bahasa Melayu Malaysia) dan bahasa Indonesia. Di Malaysia, ejaan baru bersama ini dirujuk sebagai Ejaan Rumi Bersama (ERB). Pada waktu pidato kenegaraan untuk memperingati Hari Ulang Tahun Kemerdekaan Republik Indonesia yang ke XXVII, tanggal 17 Agustus 1972 diresmikanlah pemakaian ejaan baru untuk bahasa Indonesia oleh Presiden Republik Indonesia. Dengan Keputusan Presiden Nomor 57 tahun 1972, ejaan tersebut dikenal dengan nama Ejaan Bahasa Indonesia Yang Disempurnakan (EYD). Ejaan tersebut merupakan hasil yang dicapai oleh kerja panitia ejaan bahasa Indonesia yang telah dibentuk pada tahun 1966. Ejaan Bahasa Indonesia Yang Disempurnakan ini merupakan penyederhanaan serta penyempurnaan dari pada Ejaan Suwandi atau Ejaan Republik yang dipakai sejak bulan Maret 1947.
Selanjutnya pada tanggal 12 Oktober 1972, Panitia Pengembangan Bahasa Indonesia Departemen Pendidikan dan Kebudayaan menerbitkan buku "Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan" dengan penjelasan kaidah penggunaan yang lebih luas. Setelah itu, Menteri Penidikan dan Kebudayaan dengan Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan tanggal 27 Agustus 1976 Nomor 0196/U/1975 memberlakukan "Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan" dan "Pedoman Umum Pembentukan Istilah".

Pada tahun 1987, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan mengeluarkan Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 0543a/U/1987 tentang Penyempurnaan "Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan". Keputusan menteri ini menyempurnakan EYD edisi 1975.
Pada tahun 2009, Menteri Pendidikan Nasional mengeluarkan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 46 Tahun 2009 tentang Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan. Dengan dikeluarkannya peraturan menteri ini, maka EYD edisi 1987 diganti dan dinyatakan tidak berlaku lagi.

Perbedaan Dengan Ejaan Sebelumnya
Perubahan yang terdapat pada Ejaan Baru atau Ejaan LBK (1967), antara lain:
"j" menjadi "y"   : sajang -> sayang
"tk" menjadi "c" : tjutji -> cuci
"dj" menjadi "j"  : djarak -> jarak
"nj" menjadi "ny" : njamuk -> nyamuk
"sj" menjadi "sy" : sjarat -> syarat
"ch" menjadi "kh" : achir -> akhir
Beberapa kebijakan baru yang ditetapkan di dalam EYD, antara lain:
  • Huruf f, v, dan z yang merupakan unsur serapan dari bahasa asing diresmikan pemakaiannya.
  • Huruf q dan x yang lazim digunakan dalam bidang ilmu pengetahuan tetap digunakan, misalnya pada kata furqan, dan xenon.
  • Awalan "di-" dan kata depan "di" dibedakan penulisannya. Kata depan "di" pada contoh di rumah, di sawah, penulisannya dipisahkan dengan spasi, sementara "di-" pada dibeli atau dimakan ditulis serangkai dengan kata yang mengikutinya.
  • Kata ulang ditulis penuh dengan mengulang unsur-unsurnya. Angka dua tidak digunakan sebagai penanda perulangan.
Secara umum, hal-hal yang diatur dalam EYD adalah:
  • Penulisan huruf, termasuk huruf kapital dan huruf miring.
  • Penulisan kata.
  • Penulisan tanda baca.
  • Penulisan singkatan dan akronim.
  • Penulisan angka dan lambang bilangan.
  • Penulisan unsur serapan.
Sebelumnya "oe" menjadi "u" saat Ejaan Van Ophuijsen diganti dengan Ejaan Republik. Jadi sebelum EYD, "oe" sudah tidak digunakan.

A. Pemakaian Huruf

Huruf Abjad. Ada 26 yang masing-masing memiliki jenis huruf besar dan kecil.

Huruf Vokal. Ada 5, yaitu : a, e, i, o, dan u. Tanda aksen é dapat digunakan pada huruf e jika ejaan kata menimbulkan keraguan.
Huruf Konsonan. Ada 21, yaitu : b, c, d, f, g, h, j, k, l, m, n, p, q, r, s, t, v, w, x, y, dan z (semua abjad kecuali huruf vokal).
  • Huruf c, q, v, w, x, dan y tidak punya contoh di akhir kata.
  • Hurruf x tidak punya contoh di tengah kata.
  • Huruf q dan x digunakan khusus untuk nama dan keperluan ilmu.
Huruf Kapital
  • Huruf pertama kata pada awal kalimat.
  • Huruf pertama petikan langsung.
  • Huruf Pertama dalam kata dan ungkapan yang berhubungan dengan agama, kitab suci, dan Tuhan, termasuk kata ganti untuk Tuhan.
  • Huruf pertama nama gelar kehormatan, keturunan, dan keagamaan yang diikuti nama orang (tidak dipakai jika tidak diikuti nama orang).
  • Huruf pertama unsur nama jabatan yang diikuti nama orang, instansi, atau tempat yang digunakan sebagai pengganti nama orang (tidak dipakai jika tidak diikuti nama orang, instansi, atau tempat).
  • Huruf pertama unsur-unsur nama orang (tidak dipakai pada de, van, der, von, da, bin, atau binti).
  • Huruf pertama singkatan nama orang yang digunakan sebagai nama jenis atau satuan ukuran (tidak dipakai untuk nama orang yang digunakan sebagai nama jenis atau satuan ukuran).
  • Huruf pertama nama bangsa, suku bangsa, dan bahasa (tidak dipakai untuk nama bangsa, suku, dan bahasa yang digunakan sebagai bentuk dasar kata turunan).
  • Huruf pertama nama tahun, bulan, hari, hari raya, dan unsur-unsur nama peristiwa sejarah (tidak dipakai untuk peristiwa sejarah yang tidak digunakan sebagai nama).
  • Huruf pertama unsur-unsur nama diri geografi dan unsur-unsur nama geografi yang diikuti nama diri geografi (tidak dipakai untuk unsur geografi yang tidak diikuti oleh nama diri geografi dan nama diri geografi yang digunakan sebagai penjelas nama jenis) nama diri atau nama diri geografi jika kata yang mendahuluinya menggambarkan kekhasan budaya.
  • Huruf pertama semua unsur nama resmi negara, lembaga resmi, lembaga ketatanegaraan, badan, dan nama dokumen resmi, kecuali kata tugas, seperti dan, oleh, atau, dan untuk.
  • Huruf pertama setiap unsur bentuk ulang sempurna yang terdapat pada nama lembaga resmi, lebmaga ketatanegaraan, badan, dokumen resmi, dan judul karangan.
  • Huruf pertama semua kata (termasuk unsur kata ulang semmpurna) di dalam judul buku, majalah, surat kabar, dan makalah, kecuali kata tugas seperti di, ke, dari, dan, yang, dan untuk yang tidak terletak pada posisi awal.
  • Huruf pertama unsur singkatan nama gelar, pangkat, dan sapaan yang digunakan dengan nama diri.
  • Huruf pertama kata penunjuk hubungan kekerabatan yang digunakan dalam penyapaan atau pengacuan (tidak dipakai jika tidak digunakan dalam pengacuan atau penyapaan).
  • Huruf pertama kata Anda dan digunakan dalam penyapaan.
  • Huruf pertama pada kata, seperti keterangan, catatan, dan misalnya yang didahului oleh pernyataan lengkap dan diikuti oleh paparan yang berkaitan dengan pernyataan lengkap itu.
Huruf Miring
  • Menuliskan nama buku, majalah, dan surat kabar yang dikutip dalam tulisan.
  • Menegaskan atau mengkhususkan huruf, bagian kata, kata, atau kelompok kata.
  • Menuliskan kata atau ungkapan yang bukan bahasa Indonesia (dalam tulisan tangan atau ketikan, huruf atau kata yang akan dicetak miring digarisbawahi) Ungkapan asing yang telah diserap ke dalam bahasa Indonesia penulisannya diperlakukan sebagai kata Indonesia.
Huruf Tebal
  • Menuliskan judul buku, bab, bagian bab, daftar isi, daftar tabel, daftar lambang, daftar pustaka, indeks, dan lampiran.
  • Tidak dipakai untuk menegaskan atau mengkhususkan huruf, bagian kata, kata, atau kelompok kata; untuk keperluan itu digunakan huruf miring.
  • Menuliskan lema dan sublema serta untuk menuliskan lambang bilangan yang menyatakan polisemi dalam cetakan kamus.

B. Penulisan Kata

Kata Dasar. Ditulis sebagai satu kesatuan.
Kata Turunan
  • Ditulis serangkai dengan kata dasarnya: dikelola, permainan.
  • Imbuhan ditulis serangkai dengan kata yang langsung mengikuti atau mendahuluinya, tapi unsur gabungan kata ditulis terpisah jika hanya mendapat awalan atau akhiran: bertanggung jawab, garis bawahi.
  • Imbuhan dan unsur gabungan kata ditulis serangkai jika mendapat awalan dan akhiran sekaligus: pertanggungjawaban.
  • Ditulis serangkai jika salah satu unsur gabungan kata hanya dipakai dalam kombinasi: adipati, narapidana.
  • Diberi tanda hubung jika bentuk terikat diikuti oleh kata yang huruf awalnya adalah huruf kapital: non-Indonesia.
  • Ditulis terpisah jika kata maha sebagai unsur gabungan diikuti oleh kata esa dan kata yang bukan kata dasar: maha esa, maha pengasih.
Bentuk Ulang. Ditulis lengkap dengan tanda hubung: anak-anak, sayur-mayur.
Gabungan Kata
  • Ditulis terpisah antarunsurnya: duta besar, kambing hitam.
  • Dapat ditulis dengan tanda hubung untuk menegaskan pertalian di antara unsur yang bersangkutan untuk mencegah kesalahan pengertian: alat pandang-dengar, anak-istri saya.
  • Ditulis serangkai untuk 47 pengecualian: acapkali, adakalanya, akhirulkalam, alhamdulillah, astaghfirullah, bagaimana, barangkali, bilamana, bismillah, beasiswa, belasungkawa, bumiputra, daripada, darmabakti, darmasiswa, dukacita, halalbihalal, hulubalang, kacamata, kasatmata, kepada, keratabasa, kilometer, manakala, manasuka, mangkubumi, matahari, olahraga, padahal, paramasastra, peribahasa, puspawarna, radioaktif, sastramarga, saputangan, saripati, sebagaimana, sediakala, segitiga, sekalipun, silaturahmi, sukacita, sukarela, sukaria, syahbandar, titimangsa, wasalam.
Suku Kata - Pemenggalan Kata
  1. Kata dasar
    • Di antara dua vokal berurutan di tengah kata (diftong tidak pernah diceraikan): ma-in.
    • Sebelum huruf konsonan yang diapit dua vokal di tengah kata: ba-pak.
    • Di antara dua konsonan yang berurutan di tengah kata: man-di.
    • Di antara konsonan pertama dan kedua pada tida konsonan yang berurutan ditengah kata: ul-tra.
  2. Kata berimbuhan: Sesudah awalan atau sebelum akhiran: me-rasa-kan.
  3. Gabungan kata: Di antara unsur pembentuknya: bi-o-gra-fi.
Kata depan. di, ke, dan dari ditulis terpisah dari kata yang mengikutinya, kecuali daripada, kepada, kesampingkan, keluar, kemari, terkemuka.
Partikel
  • Partikel - lah, -kah, dan -tah ditulis serangkai dengan kata yang mendahuluinya: betulkah, bacalah
  • Partikel pun ditulis terpisah dari kata yang mendahuluinya: apa pun, satu kali pun
  • Partikel pun ditulis serangkai dengan kata yang mendahuluinya untuk adapun, andaipun, ataupun, bagaimanapun, biarpun, kalaupun, kendatipun, maupun, meskipun, sekalipun, sungguhpun, walaupun.
Singkatan dan Akronim
  • Singkatan nama orang, nama gelar, sapaan, jabatan atau pangkat diikuti dengan tanda titik: A.S Kramawijaya, M.B.A.
  • Singkatan nama resmi lembaga pemerintah dan ketatanegaraan, badan atau organisasi, serta nama dokumen resmi yang terdiri atas huruf awal kata ditulis dengan huruf kapital dan tidak diikuti dengan tanda titik: SD, SMP, SMA, SMK, DPR, DPRD, MPR
  • Singkatan umum yang terdiri atas tiga huruf atau lebih diikuti satu tanda titik: dst., a.n., s.d.
  • Lambang kimia, singkatan satuan ukuran, takaran, timbangan, dan mata uang tidak diikuti tanda titik: cm, Cu
  • Akronim nama dari yang berupa gabungan huruf awal dari deret kata ditulis seluruhnya dengan huruf kapital: ABRI, PASI
  • Akronim nama diri yang berupa gabungan suku kata atau gabungan huruf dan suku kata dari deret kata ditulis dengan huruf awal huruf kapital: Akabri, Iwapi
  • Akronim yang bukan nama diri yang berupa gabungan huruf, suku kata, ataupun gabungan huruf dan suku kata dari deret kata seluruhnya ditulis dengan huruf kecil: pemilu, tilang
Angka dan lambang bilangan. Angka dipakai untuk menyatakan lambang bilangan atau nomor yang lazimnya ditulis dengan angka Arab atau angka Romawi.
  1. Fungsi
    • Menyatakan (i) ukuran panjang, berat, luas, dan isi (ii) satuan waktu (iii) nilai uang, dan (iv) kuantitas.
    • Melambangkan nomor jalan, rumah, apartemen, atau kamar pada alamat.
    • Menomori bagian karangan dan ayat kitab suci.
  2. Penulisan
    • Lambang bilangan utuh dan pecahan dengan huruf.
    • Lambang bilangan tingkat.
    • Lambang bilangan yang mendapat akhiran -an.
    • Ditulis dengan huruf jikia dapat dinyatakan dengan satu atau dua kata, kecuali jika beberapa lambang bilangan dipakai secara berurutan, seperti dalam perincian dan pemaparan.
    • Ditulis dengan huruf jika terletak di awal kalimat. Jika perlu, susunan kalimat diubah sehingga bilangan yang tidak dapat dinyatakan dengan satu atau dua kata tidak terdapat pada awal kalimat.
    • Dapat dieja sebagian supaya lebih mudah dibaca bagi bilangan utuh yang besar.
    • Tidak perlu ditulis dengan angka dan huruf sekaligus dalam teks kecuali di dalam dokumen resmi seperti akta dan kuitansi.
    • Jika bilangan dilambangkan dengan angka dan huruf, penulisannya harus tepat.
Kata ganti
  • Ku dan kau ditulis serangkai dengan kata yang mengikutinya: kusapa, kauberi.
  • Ku, mu, dan nya ditulis serangkai terpisah dari kata yang mengikutinya: bukunya, miliknya.
  • Kata sandang. Si dan sang ditulis terpisah dari kata yang mengikutinya: Sang Kancil, si pengirim.

C. Pemakaian Tanda Baca

Tanda titik
  • Dipakai pada akhir kalimat yang bukan pertanyaan atau seruan.
  • Dipakai di belakang angka atau huruf dalam suatu bagan, ikhtisar, atau daftar (tidak dipakai jika merupakan yang terakhir dalam suatu deretan).
  • Dipakai untuk memisahkan angka jam, menit, dan detik yang menunjukkan waktu atau jangka waktu.
  • Dipakai di antara nama penulis, judul tulisan yang tidak berakhir dengan tanda tanya dan tanda seru, dan tempat terbit dalam daftar pustaka.
  • Dipakai untuk memisahkan bilangan ribuan atau kelipatannya (tidak dipakai jika tidak menunjukkan jumlah).
  • Tidak dipakai pada akhir judul yang merupakan kepala karangan atau kepala ilustrasi, tabel, dan sebagainya.
  • Tidak dipakai di belakang (1) alamat pengirim dan tanggal surat atau (2) nama dan alamat penerima surat.
Tanda koma
  • Dipakai di antara unsur-unsur dalam suatu perincian atau pembilangan.
  • Dipakai untuk memisahkan kalimat setara yang satu dari kalimat setara berikutnya yang didahului oleh kata seperti tetapi atau melainkan.
  • Dipakai untuk memisahkan anak kalimat dari induk kalimat jika anak kalimat itu mendahului induk kalimatnya (tidak dipakai jika anak kalimat itu mengiringi induk kalimatnya).
  • Dipakai di belakang kata atau ungkapan penghubung antarkalimat yang terdapat pada awal kalimat. Termasuk di dalamnya oleh karena itu, jadi, lagi pula, meskipun begitu, akan tetapi.
  • Dipakai untuk memisahkan kata seperti o, ya, wah, aduh, kasihan dari kata yang lain yang terdapat di dalam kalimat.
  • Dipakai untuk memisahkan petikan langsung dari bagian lain dalam kalimat (tidak dipakai jika petikan langsung itu berakhir dengan tanda tanya atau tanda seru).
  • Dipakai di antara (i) nama dan alamat, (ii) bagian-bagian alamat, (iii) tempat dan tanggal, dan (iv) nama tempat dan wilayah atau negeri yang ditulis berurutan.
  • Dipakai untuk menceraikan bagian nama yang dibalik susunannya dalam daftar pustaka.
  • Dipakai di antara bagian-bagian dalam catatan kaki.
  • Dipakai di antara nama orang dan gelar akademik yang mengikutinya untuk membedakannya dari singkatan nama diri, keluarga, atau marga.
  • Dipakai di muka angka persepuluhan atau di antara rupiah dan sen yang dinyatakan dengan angka.
  • Dipakai untuk mengapit keterangan tambahan yang sifatnya tidak membatasi.
  • Dapat dipakai di belakang keterangan yang terdapat pada awal kalimat untuk menghindari salah baca.
Tanda titik koma
  • Dapat dipakai untuk memisahkan bagian-bagian kalimat yang sejenis dan setara.
  • Dapat dipakai sebagai pengganti kata penghubung untuk memisahkan kalimat yang setara di dalam kalimat majemuk.
Tanda titik dua
  • Dapat dipakai pada akhir suatu pernyataan lengkap jika diikuti rangkaian atau pemerian (tidak dipakai jika rangkaian atau perian itu merupakan pelengkap yang mengakhiri pernyataan).
  • Dipakai sesudah kata atau ungkapan yang memerlukan pemerian.
  • Dapat dipakai dalam teks drama sesudah kata yang menunjukkan pelaku dalam percakapan.
  • Dipakai (i) di antara jilid atau nomor dan halaman, (ii) di antara bab dan ayat dalam kitab suci, (iii) di antara judul dan anak judul suatu karangan, serta (iv) nama kota dan penerbit buku acuan dalam karangan.
Tanda hubung
  • Dipakai untuk menyambung suku-suku kata dasar yang terpisah oleh penggantian baris (Suku kata yang berupa satu vokal tidak ditempatkan pada ujung baris atau pangkal baris).
  • Dipakai untuk menyambung awalan dengan bagian kata di belakangnya atau akhiran dengan bagian kata di depannya pada pergantian baris (Akhiran -i tidak dipenggal supaya jangan terdapat satu huruf saja pada pangkal baris).
  • Dipakai untuk menyambung unsur-unsur kata ulang.
  • Dipakai untuk menyambung huruf kata yang dieja satu-satu dan bagian-bagian tanggal.
  • Dapat dipakai untuk memperjelas (i) hubungan bagian-bagian kata atau ungkapan, dan (ii) penghilangan bagian kelompok kata.
  • Dipakai untuk merangkaikan (i) se- dengan kata berikutnya yang dimulai dengan huruf kapital, (ii) ke- dengan angka, (iii) angka dengan -an, (iv) singkatan berhuruf kapital dengan imbuhan atau kata, dan (v) nama jabatan rangkap.
  • Dipakai untuk merangkaikan unsur bahasa Indonesia dengan unsur bahasa asing.
Tanda pisah
  • Dipakai untuk membatasi penyisipan kata atau kalimat yang memberi penjelasan di luar bangun kalimat.
  • Dipakai untuk menegaskan adanya keterangan aposisi atau keterangan yang lain sehingga kalimat menjadi lebih jelas.
  • Dipakai di antara dua bilangan atau tanggal dengan arti 'sampai ke' atau 'sampai dengan'.
  • Dalam pengetikan, tanda pisah dinyatakan dengan dua buah tanda hubung tanpa spasi sebelum dan sesudahnya.
Tanda tanya
  • Dipakai pada akhir kalimat tanya.
  • Dipakai di dalam tanda kurung untuk menyatakan bagian kalimat yang disangsikan atau yang kurang dapat dibuktikan kebenarannya.
Tanda seru
  • Dipakai sesudah ungkapan atau pernyataan yang berupa seruan atau perintah yang menggambarkan kesungguhan, ketidakpercayaan, ataupun rasa emosi yang kuat.
Tanda elipsis
  • Dipakai dalam kalimat yang terputus-putus.
  • Dipakai untuk menunjukkan bahwa dalam suatu kalimat atau naskah ada bagian yang dihilangkan.
  • Jika bagian yang dihilangkan mengakhiri sebuah kalimat, perlu dipakai empat buah titik; tiga buah untuk menandai penghilangan teks dan satu untuk menandai akhir kalimat.
Tanda petik
  • Mengapit petikan langsung yang berasal dari pembicaraan dan naskah atau bahan tertulis lain.
  • Mengapit judul syair, karangan, atau bab buku yang dipakai dalam kalimat.
  • Mengapit istilah ilmiah yang kurang dikenal atau kata yang mempunyai arti khusus.
  • Tanda petik penutup mengikuti tanda baca yang mengakhiri petikan langsung..
  • Tanda baca penutup kalimat atau bagian kalimat ditempatkan di belakang tanda petik yang mengapit kata atau ungkapan yang dipakai dengan arti khusus pada ujung kalimat atau bagian kalimat.
  • Tanda petik pembuka dan tanda petik penutup pada pasangan tanda petik itu ditulis sama tinggi di sebelah atas baris.
Tanda petik tunggal
  • Mengapit petikan yang tersusun di dalam petikan lain.
  • Mengapit makna, terjemahan, atau penjelasan kata atau ungkapan asing.
Tanda kurung
  • Mengapit keterangan atau penjelasan.
  • Mengapit keterangan atau penjelasan yang bukan bagian integral pokok pembicaraan.
  • Mengapit huruf atau kata yang kehadirannya di dalam teks dapat dihilangkan.
  • Mengapit angka atau huruf yang memerinci satu urutan keterangan.
Tanda kurung siku
  • Mengapit huruf, kata, atau kelompok kata sebagai koreksi atau tambahan pada kalimat atau bagian kalimat yang ditulis orang lain. Tanda itu menyatakan bahwa kesalahan atau kekurangan itu memang terdapat di dalam naskah asli.
  • Mengapit keterangan dalam kalimat penjelas yang sudah bertanda kurung.
Tanda garis miring
  • Dipakai di dalam nomor surat dan nomor pada alamat dan penandaan masa satu tahun yang terbagi dalam dua tahun takwim.
  • Dipakai sebagai pengganti kata atau, tiap.
Tanda penyingkat
  • Menunjukkan penghilangan bagian kata atau bagian angka tahun.

Sumber

Monday, October 13, 2014

Diksi

Diksi, dalam arti aslinya dan pertama, merujuk pada pemilihan kata dan gaya ekspresi oleh penulis atau pembicara. Arti kedua, arti "diksi" yang lebih umum digambarkan dengan enunsiasi kata - seni berbicara jelas sehingga setiap kata dapat didengar dan dipahami hingga kompleksitas dan ekstrimitas terjauhnya. Arti kedua ini membicarakan pengucapan dan intonasi, daripada pemilihan kata dan gaya.

Diksi memiliki beberapa bagian; pendaftaran - kata formal atau informal dalam konteks sosial - adalah yang utama. Analisis diksi secara literal menemukan bagaimana satu kalimat menghasilkan intonasi dan karakterisasi, contohnya penggunaan kata-kata yang berhubungan dengan gerakan fisik menggambarkan karakter aktif, sementara penggunaan kata-kata yang berhubungan dengan pikiran menggambarkan karakter yang introspektif. Diksi juga memiliki dampak terhadap pemilihan kata dan sintaks.

Diksi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia pusat bahasa Departemen Pendidikan Indonesia adalah pilihan kata yg tepat dan selaras (dalam penggunaannya) untuk mengungkapkan gagasan sehingga diperoleh efek tertentu (seperti yang diharapkan). Fungsi dari diksi antara lain.
  • Membuat pembaca atau pendengar mengerti secara benar dan tidak salah paham terhadap apa yang disampaikan oleh pembicara atau penulis. 
  • Untuk mencapai target komunikasi yang efektif. 
  • Melambangkan gagasan yang di ekspresikan secara verbal. 
  • Membentuk gaya ekspresi gagasan yang tepat (sangat resmi, resmi, tidak resmi) sehingga menyenangkan pendengar atau pembaca.
Diksi terdiri dari delapan elemen: Fonem, Silabel, Konjungsi, Hubungan, Kata benda, Kata kerja, Infleksi, dan Uterans.

Macam macam hubungan makna :
  • Sinonim
    Merupakan kata-kata yang memiliki persamaan / kemiripan makna. Sinonim sebagai ungkapan (bisa berupa kata, frase, atau kalimat) yang maknanya kurang lebih sama dengan makna ungkapan lain. Contoh: Kata buruk dan jelek, mati dan wafat.
  • Antonim
    Merupakan ungkapan (berupa kata, frase, atau kalimat) yang maknanya dianggap kebalikan dari makna /ungkapan lain. Contoh: Kata bagus berantonim dengan kata buruk; kata besar berantonim dengan kata kecil.
  • Polisemi
    Adalah sebagai satuan bahasa (terutama kata atau frase) yang memiliki makna lebih dari satu. Contoh: Kata kepala bermakna ; bagian tubuh dari leher ke atas, seperti terdapat pada manusia dan hewan, bagian dari suatu yang terletak di sebelah atas atau depan, seperti kepala susu, kepala meja,dan kepala kereta api, bagian dari suatu yang berbentuk bulat seperti kepala, kepala paku dan kepala jarum dan Iain-lain.
  • Hiponim
    Adalah suatu kata yang yang maknanya telah tercakup oleh kata yang lain, sebagai ungkapan (berupa kata, frase atau kalimat) yang maknanya dianggap merupakan bagian dari makna suatu ungkapan. Contoh : kata tongkol adalah hiponim terhadap kata ikan, sebab makna tongkol termasuk makna ikan.
  • Hipernim
    Merupakan suatu kata yang mencakup makna kata lain.
  • Homonim
    Merupakan kata-kata yang memiliki kesamaan ejaan dan bunyi namun berbeda arti.
  • Homofon
    Merupakan kata-kata yang memiliki bunyi sama tetapi ejaan dan artinya berbeda.
  • Homograf
    Merupakan kata-kata yang memiliki tulisan yang sama tetapi bunyi dan artinya berbeda.

Makna Denotasi
Makna Denotasi merupakan makna kata yang sesuai dengan makna yang sebenarnya atau sesuai dengan makna kamus.
Contoh:
Adik makan nasi
Makan artinya memasukkan sesuatu ke dalam mulut.

Makna Konotasi 

Kalau makna Denotasi adalah makna yang sebenarnya, maka seharusnya Makna Konotasi merupakan makna yang bukan sebenarnya dan merujuk pada hal yang lain. Terkadang banyak eksperts linguistik di Indonesia mengatakan bahwa makna konotasi adalah makna kiasan, padahal makna kiasan itu adalah tipe makna figuratif, bukan makna konotasi. Makna Konotasi tidak diketahui oleh semua orang atau dalam artian hanya digunakan oleh suatu komunitas tertentu. Misalnya Frase jam tangan. 

Contoh:

Pak Saleh adalah seorang pegawai kantoran yang sangat tekun dan berdedikasi. Ia selalu disiplin dalam mengerjakan sesuatu. Pada saat rapat kerja, salah satu kolega yang hadir melihat kinerja beliau dan kemudian berkata kepada sesama kolega yang lain “Jam tangan pak Saleh bagus yah”. 

Dalam ilustrasi diatas, frase jam tangan memiliki makna konotasi yang berarti sebenarnya disiplin. Namun makna ini hanya diketahui oleh orang-orang yang bekerja di kantoran atau semacamnya yang berpacu dengan waktu. Dalam contoh diatas, Jam Tangan memiliki Makna Konotasi Positif karena sifatnya memuji.

Sumber :

Monday, October 6, 2014

Ragam Bahasa

               Ragam bahasa adalah varian dari sebuah bahasa menurut pemakaian. Berbeda dengan dialek yaitu varian dari sebuah bahasa menurut pemakai. Variasi tersebut bisa berbentuk dialek, aksen, laras, gaya, atau berbagai variasi sosiolinguistik lain, termasuk variasi bahasa baku itu sendiri. Variasi di tingkat leksikon, seperti slang dan argot, sering dianggap terkait dengan gaya atau tingkat formalitas tertentu, meskipun penggunaannya kadang juga dianggap sebagai suatu variasi atau ragam tersendiri.

Hal yang berhubungan dengan penutur dapat dibedakan seperti berikut

  • Latar belakang daerah penutur
               Ragam bahasa yang dipengaruhi oleh latar belakang daerah penuturnya menimbulkan ragam daerah atau dialek. Dialek adalah cara berbahasa Indonesia yang diwarnai oleh karate bahasa daerah yang masihmelekat pada penuturnya. Contohnya, bahasa Indonesia dengan dialek Betawi biasanya menggunakan fonem "e" untuk melafalkan kata yang berakhir dengan vokal "a", misalnya "apa" menjadi "ape", "dimana?" menjadi "dimane?". Begitu pula dengan logat Jawa untuk menyebutkan kata berawalan konsonan "b" akan terdengar bunyi konsonan "m" misalnya "Bandung" menjadi "mBandung", "Bogor" menjadi "mBogor".
  • Latar belakang pendidikan penutur
               Berdasarkan latar belakang pendidikan pentutur, timbul ragam yang lafal baku dan yang tidak berlafal baku, khususnya dalam pengucapan kosakata yang berasal dari unsur serapan asing. Orang yang berpendidikan, umumnya melafalkan sesuai dengan lafal baku, namun berbeda dengan orang yang kurang atau tidak berpendidikan, pelafalan diucapkan tidak baku. Contoh, pengucapan kata "film, foto dan fokus" menjadi "pilm, poto, dan pokus".
  • Situasi pemakaian, sikap, dan hubungan sosial penutur
               Berdasarkan ahli ini, timbul ragam formal, semiformal, dan nonformal. Ragam formal biasa digunakan pada situasi resmi, seperti di kantor, rapat atau acara-acara kenegaraan. Ragam formal menggunakan kosakata baku dan kalimatnya terstruktur lengkap. Ragam formal juga biasa dipakai jika sedang berbicara pada orang yang dihormatinya misal dosen atau pemimpin perusahan. 
  • Ruang lingkup pemakaian atau pokok pembicaraan yang dibicarakan
               Dalam lingkaran kelompok penutur. Banyak persoalan yang dapat menjadi topik pembicaraan. Saat membicarakan topik tertentu, seseorang akan menggunakan kosakata kajian atau khusus yang berhubungan dengan topik pembicaraan tersebut. Ragam bahasa yang digunakan untuk membahas suatu bidang akan berbeda dengan bidang lainnya, misal pembicaraan yang berhubungan dengan agama tentu menggunakan istilah yang berhubungan dengan agama, begitu juga dengan bidang lainnya. Masing-masing memiliki ciri khas kata atau ragam bahasa yang digunakan. Termasuk penggunaan gaya bahasanya. Variasi ini disebut dengan laras bahasa.